“Terputusnya Amal Orang Yang Meninggal Kecuali 3 Hal”
عَنْ أبِى هُرَيْرَة (ر) أنَّ رَسُول الله .صَ. قَالَ: إذَا مَاتَ الإنسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ:
(صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَو عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ, اَووَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُولَهُ (رواه ابو داود)
“Jika anak Adam meninggal, maka amalnya terputus kecuali dari tiga perkara, sedekah jariyah (wakaf), ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang berdoa kepadanya.” (HR Muslim).
Sebenarnya yang dimaksud hadits tersebut sangat jelas bahwa tiap mayit telah selesai dan putus amal- nya, karena ia tidak diwajibkan lagi untuk beramal. Tetapi ini bukan berarti putus pengambilan manfaat dari amalan orang yang masih hidup untuk si mayit itu. Juga tidak ada keterangan dalam hadits tersebut bahwa si mayyit tidak dapat menerima syafa’at, hadiah bantuan do’a dan sebagainya dari orang lain selain dari anaknya yang sholeh. Tidak juga berarti bahwa si mayit tidak bisa berdo’a untuk orang yang masih hidup. Malah ada hadits Rasul- Allah saw. bahwa para Nabi dan Rasul masih bersembah sujud kepada Allah swt. didalam kuburnya.
Menurut Imam al-Suyuti (911 H), bila semua hadis mengenai amal yang pahalanya terus mengalir walau pelakunya sudah meninggal dunia dikumpulkan, semuanya berjumlah 10 amal, yaitu:
- ilmu yang bermanfaat,
- doa anak shaleh,
- sedekah jariyah (wakaf),
- menanam pohon kurma atau pohon-pohon yang buahnya bisa dimanfaatkan,
- mewakafkan buku, kitab atau Alquran,
- berjuang dan membela Tanah Air,
- membuat sumur,
- membuat irigasi,
- membangun tempat penginapan bagi para musafir,
- membangun tempat ibadah dan belajar.
Kesepuluh hal di atas menjadi amal yang pahalanya terus mengalir, karena orang yang masih hidup akan terus mengambil manfaat dari ke-10 hal tersebut. Manfaat yang dirasakan orang yang masih hidup inilah yang menyebabkannya terus mendapatkan pahala walau ia sudah meninggal dunia.
Dari pemaparan di atas, sudah seharusnya kita berusaha mengamalkan 10 hal tersebut atau paling tidak mengamalkan salah satunya, agar kita mendapatkan tambahan pahala di akhirat kelak, sehingga timbangan amal kebaikan kita lebih berat dari pada timbangan amal buruk.
Allah SWT berfirman, ‘‘Timbangan pada hari itu ialah kebenaran (keadilan), maka barang siapa berat timbangan kebaikannya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS al-A’raf [7]: 8).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar